Selasa, 13 Maret 2012

Seberkas Perjalanan Hidup Manusia

Pagi gelap sekali. Bulan ungu masih bergantung malu di atas alam. Jutaan ruh yang terbang berputar-putar. Berpedar lembut. Dalam senyap, mereka menunggu giliran hembusan angin yang melontarkan ruh pada ruang sempi perut wanita...

Sudah sejak semula, sebelum ruh manusia ditiup ke dalam janin ; mereka telah dibekali sebait bisikan. Mereka tahu pasti bahwa waktu mereka di dunia ini hanyalah sekedar berkunjung semata. Tidak selamanya. Hati kecil mereka terus mengingatkan ; tibalah untuk kembali. Menangis untuk tertawa. Berduka untuk rasa bahagia. Berjumpa untuk berpisah.

Ruh tertiup lembut. Menyusup. Janin berdetak menyirat kehidupan. Setelah berbulan silih bergantian, manusia mungil menyapa dunia dengan tangis lepas. Entah si Mungil bergembira, bersedih, atau kebingungan. Dalam hati kecil mereka tahu persis bahwa pilihan hidup di dunia adalah bagai mengarung Samudera Perjuangan dan Percobaan.

Pagi merekah. Bulan sembunyi di balik garis titik akhir pandang bumi. Mentari menyeruak dari garis tepi ufuk timur. Anak-anak kecil terbangun. Berlarian dan melepas renyah derai tawa. Tiada rasa khawatir oleh rasa beban kehidupan. Bening. Lugu tak berdosa...

Bukankah juga sudah sejak kecil kita belajar bahwa tidak ada sesuatu yang kekal. Tak ada kegembiraan yang tiada habisnya., namun tak ada juga kesedihan yang tak berakhir. Tidak ada musim kemarau yang disegarkan  hujan, tidak ada siang yang tak ditutup malam, juga tidak ada gelap malam yang tidak dipecahkan oleh sinar siang.

Kemudian anak-anak menjadi apa pun juga dengan ajaran orang-orang dewasa di sekitar mereka. Menjadi jahat, baik, licik, lihai, picik, pandai, tulus, pemalu, pemberani, penurut, pemberontak, alim, bejat, dan lainnya. Sehari habisnya tak terasa begitu lama bagi anak-anak kecil yang tak juga henti bermain dengan riang, melepas derai tawa tak berbeban.

Siang benderang. Mentari seolah terpatri tepat di atas ubun-ubun kepala. Para manusia bergegasan di jlan-jalan. Lalu lalang memburu tujuan. Seolah tak kenal lelah.

Waktu berkejaran ; detik memiliki menit , menit menggulung jam, jam menjalin hari, hari mengepung minggu, minggu menganyam bulan, bulan merangkum tahun. Usia terus bertambah, hidup juga terus tak jera memberi pengajaran. Tak ada sesuatu yang begitu kekal. Tiada sempit tanpa kelapangan. Tiada damai tanpa peperangan. Tiada satu pengarungan yang pada akhirnya tak akan berlabuh juga pada pelukan hangat.

Sekelompok manusia dewasa masih juga bergegasan di jalan-jalan. Memburu tujuan. Tak kenal lelah. Sebagian akan dimabukkan. Hanya sebagian kecil yang masih mampu memilah-milah dari pijakan pandang nurani yang jernih. Sebagian lain bahkan sudah melupakan sama sekali. Silau. Terbutakan.

Saat itu para manusia dewasa juga baru menyadari...bahwa waktu sehari ini nampak lewat berkelebat dengan sangat cepat. Tidak sama lagi seperti saat anak-anak.

Sore menggurat langit jingga, ungu, dan kemerahan bagai hanvaran kanvas. Mentari redup keletihan seusai memijar siang. Seketika kita berada pada tepi puncak masa dewasa. Pada ketinggian rasa angkuh, rasa bangga. Meski hati kecil talah berbisik ; "Siaplah menggelincir." 


Pelajaran di depan mata. Tidak ada sehat tanpa sakit, tidak ada kaya tanpa miskin, begitupun sebaliknya. Tidak ada kuat tanpa lemah. Tidak ada kecantikan dan ketampanan rupa yang tiada mengerut sirna. Tiada rambut hitam legam yang terus berkilau hitam.


Beberapa dari mereka menutup kisah bertualangnya pada babak empat. Menghadap bersimpuh tunduk dalam-dalam di hadapan Pencipta. Beberapa lagi masih ingin mengarung petualangan. Sambil berharap-harap cemas pada satu titik nanti masih ada terbuka pintukesempatan.


Hari tidak lagi lewat dalam kelebat. Pagi buta, siang benderang, hingga senja redup terasa bagai hitungan jam belaka. Berlarian tak terasa...mengejar usia manusia. Legam helai rambut memudar putih.


Malam muda langit masih terang, meski belum berbintang. Manusia jadi bamyak lupa. Bergerak tak lagi bergegasan. Tujuan tak lagi merisaukan. Tak berkejaran bagai silam.


Meski begitu, tidak akan pernah ada rasa tenteram seutuhnya. Tidak ada tenteram yang tak digayuti kegundahan dan kekhawatiran. Rangkaian pertanyaan terus mewarnai pikiran dan lubuk hati.


Merasa tak lagi muda, tak lagi kuat, dan tak lagi rupawan, serta tak lagi berdaya ; berduyun-duyun mereka kembali bersimpul dan menundukkan kepala dalam-dalam. Merintih. Memohon.


Malam beranjak. Muda-muda menjadi larut. Langit biru menjadi lebih pekat. Taburan bintang berkedip-kedip. Hembusan nafas menjadi selembut, setipis bisik dan hembusan malam yang diam tenang.


Tidak ada perjumpaan yang tidak diakhiri perpisahan.


Seorang lelaki ttua duduk berayun pada kursi goyang di beranda. Ia memejam mata dan mengembang senyum. Puas dengan hidupnya. Semasa mengarung hidup ia tak pernah lupa bahwa waktu dunia hanyalah sementara. Ia telah berbuat sebanyak mungkin bagi orang lain, juga makhluk lain di dunia. Ia tersenyum puas atas hidup. Tiap menitnya. Pikirnya ; "Dunia seolah telah menjadi tempat yang membosankan. Saya siap berangkat ; untuk kembali mengarung lembar kehidupan lain...."


Sepasang mata menutup tenang. sebentuk senyum mengembang damai. Sebuah tangan merentang. Ia menggapai. Ruh melepas raga. Rintik hujan mengiring kepergian...ruh melayang berpayung awan, melesat menembus gerbang langit biru. Kembali pada alam ruh yang berbaris panjang. Putih. Bercahaya.


Hidup yang hanya sementara tidak pernah berjanji untuk bergulir pada pijakan yang datar, tetap pasti dan kekal.
Ketidak pastian, ketidak kekalan, dan naik turunnya pengarungan adalah hal-hal yang dijanjikannya sejak awal.
Bukankah sebelum ruh ditiup pada janin, kita sudah mengetahuinya ? Bukankah sebentuk bisikan kerap mengingatkan kita ?


Tidak ada perjumpaam yang tidak diakhiri  dengan perpisahan...meski perpisahan juga bukan berarti titik selesai. Ada perjumpaan lain.


Takdir bergerak dengan cara-caranya sendiri yang tak banyak dimengerti. Kita tak akan pernah tahu...mungkin kali lain, mungkin pada bentuk lain, atau mungkin dengan cara lain ; perpisahan akan dipertemukan kembali juga... 


Tengadahkan kepala, hiasi wajah dengan senyum. Tanamkan benih harapan...sesungguhnya sebuah pelajaran baru kita dapatkan dengan begitu baiknya. A lesson has learned well, pada tiap kejadiannya. Selamat berpisah. Aah........tersenyumlah....tersenyumlah....!

...................................................................................................................................................................



Dikutip dari sebuah majalah desain karya J. Meru